seorang perempuan berkata kepadaku,

“jadilah lelakiku”.

aku menjawab sekenanya,

“buat apa?”

“biar kamu selalu ada di dekatku”.

“aku sudah dekat denganmu saat ini”.

“tapi aku ingin selalu. kapanpun aku mau. kapanpun aku ingin memelukmu”.

“lha, terus istriku bagaimana?”

“ah, biarlah, dia akan memahamimu”.

“aku nggak bisa”.

“kenapa nggak?”

“aku sudah menikah. mungkin aku harus bersikap sebagaimana seorang suami. entah baik atau buruk”.

perempuan itu menepis,

“ah, dasar lelaki, mau enaknya saja”.

“apa maksudmu?”

“ya, kamu bicara tentang menikah dan menjadi suami. tapi kamu tetap memeluk dan meniduriku”.

“bukankah kamu yang memulainya? kamu yang datang kepadaku dan memintaku menemanimu?”

“ya, menemaniku, bukan meniduri aku”.

“tapi bukankah kamu yang menciumku duluan?”

“ya, tapi waktu itu aku kan sedang mabuk?”

“mabuk atau tidak, tapi kan sebenarnya kamu memang menginginkan aku?”

perempuan itu menarik napas. membuang pandangan ke langit-langit kamar kost-nya. lalu menghempaskan tubuhnya di kursi.

matanya menatapku lekat. mata yang selalu membuatku tak mampu berkata dan berpikir jernih.

aku mengulang pertanyaan bodoh itu lagi,

“jadi apa yang kamu mau sekarang?”

perempuan itu hanya menjawab pendek,

“jadilah lelakiku”.

lalu perasaan bersalah itu muncul lagi. tak terbantahkan.

dan seperti yang sudah-sudah, aku cepat-cepat mengusirnya jauh-jauh dari pelukan kami.

ps : jangan memaksa memahami perempuan, hanya akan merusak otakmu.

musik kencang sekali menendang-nendang telinga saya. ruang itu penuh orang yang bergerak kesana-kemari, tak beraturan. penuh tawa dan teriak keakraban. sepertinya semua orang sedang senang. saya tak menemui satupun wajah murung, kecuali beberapa yang keluar dari toilet sambil mengusap mulut sehabis jackpot.

saya sendiri berdiri di dekat kursi yang nampaknya empuk sekali. menunggu kesempatan untuk mencuri duduk dari pantat-pantat yang sedari tadi bergeming. dari punggung-punggung yang tak menyisakan celah sedikit pun untuk bersandar.

cahaya-cahaya itu mulai menyiksa mata. mungkin Bibi Chivas terlalu enak memijit tengkuk saya. mungkin Paman Jack terlalu bersemangat merangkul saya. padahal, sebenarnya, saya juga masih belum sempat sekedar berbasa-basi dengan Oom Jose.

mabuk.

dan saya benar-benar merasa sunyi di tengah hingar-bingar malam itu.

korek dan SPG rokok

January 31, 2006

petang itu saya sedang menikmati kopi panas dan rokok kretek. di sebuah warung kopi (tepatnya di depan warung kopi, karena di dalamnya penuh -red).

ya, sambil menanti seseorang yang saya harapkan segera muncul dari kepungan hujan yang mengguyur Jakarta sejak pagi, eh, seminggu lalu ding.

ternyata yang lebih dulu muncul adalah beberapa perempuan cantik berkostum serupa yang seksi. bukan seksi karena bergoyang ngebor, ngecor, atau vibrator. bukan pula goyang patah-patah, apalagi kayang. seksi karena rok mini yang mereka (paksakan?) kenakan tak sanggup menutupi paha-paha mulus. seksi karena jumlah kancing bajunya ternyata juga tak mampu menahan dan membungkus beban yang -alhamdulillah- montok itu.

membawa beberapa kotak berwarna menarik dan senyum-senyum indah, mereka menghampiri tiap pengunjung warung kopi. SPG rokok. tentu saja, saat giliran itu tiba, saya harus menolak dengan sesopan mungkin.

bukan, bukan karena gak tertarik dengan mereka (sampai hari ini saya masih lelaki normal -red). hanya saja, aroma rokok kretek dan kebanggaan saya pada “ploduk-ploduk dalam negeli” terlalu berharga jika harus ditukar dengan rokok filter berlabel nama-nama perusahaan asing itu. maaf, bukan anti globalisasi. tapi rokok filter bikin tenggorokan saya sakit, itu saja.

dari meja sebelah, saya dengar, “…korek bonusnya bagus, gak? liat dulu dong… kalo bagus gue beli…”.

nah, ini menarik. paling tidak buat saya. jadi kesimpulannya, mereka beli koreknya, bukan karena tertarik rokoknya. meskipun rokoknya ganti dan harganya lebih mahal, tapi kalo korek atau bonusnya bagus, ya tetep dibeli.

he he he…

saya sedang capek. capek sekali. bukan soal otot pegal-pegal karena kebanyakan ngangkut karung beras. bukan, saya bukan importir gelap kok. juga bukan karena nyaris tiap malam saya (terpaksa –red) begadang menunggu kantuk yang seringkali cuek tak datang-datang.

saya sedang capek. dan jelas ini harus diakhiri. tentu bukan dengan salep super panas. juga bukan dengan obat tidur yang -dari namanya saja- udah bau sorga banget. nonton bokep banyak-banyak juga tidak mungkin menyelesaikan masalah ini. gak usah nanya, saya sudah mencobanya.

saya sedang capek. dan saya masih belum tahu harus bagaimana. karena selain capek, ternyata saya juga pusing.

bermalam-malam, saya mencoba berbincang dengan Tuhan. ya, tentu saja sambil ngopi dan merokok. tapi sepertinya Tuhan agak pro dengan kebijakan anti rokok itu. waktu saya mau pinjam korek, Dia bilang nggak bawa. repot ini. apalagi nanti kalau Tuhan ikutan tanda tangan petisi online menolak Playboy. wah.
mungkin Tuhan sebenarnya sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. mungkin saya yang tidak paham jawabannya. mungkin saya yang terlalu bebal untuk memahami pertanda.

atau mungkin, karena saya sudah terlalu capek.

jadi rencananya begini, ini akhir pekan, jelas nanti malam sampai besok pagi saya akan maen Playstation. nah, berhubung akan ada Piala Dunia, siapa tahu Dia tertarik mencoba. tentu saja, saya akan mengalah dulu, biar senang. kalo sudah terlena, nah, baru saya akan ngomong. begitu.

atau mungkin, jika diselingi alkohol, bisa jadi pembicaraan kami akan lebih lancar dan akrab.

gimana, coba?

apalagi yang kau cari?

January 17, 2006

waktu itu, saya datang ke Jakarta dengan niat besar untuk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan layak. penghasilan yang cukup menyenangkan, untuk diri sendiri dan keluarga.

kini, 4 tahun sudah berlalu. tapi harapan besar tadi sepertinya lebih banyak melencengnya daripada seharusnya. 2 tahun yang lalu, saya harus kehilangan Mama tercinta. ada penyesalan yang sangat dengan kepergian ini. ya, hingga akhir waktunya, saya ternyata belum mampu menunjukkan apapun untuk membahagiakan Mama.

kini, 4 tahun sudah berlalu. begitu cepatnya waktu berjalan. seperti tak terasa.

terus terang, hari ini sebenarnya saya bingung mau posting soal apa. sepertinya saya merasa ruang di sekitar saya berputar-putar tak beraturan. ya sudah, saya biarkan saja jari-jari menari di keyboard. hasilnya ya yang sampeyan baca sekarang ini.

hint : saya memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup menyenangkan. tapi lama kelamaan, saya merasa biaya sosial dan psikologis untuk pekerjaan ini ternyata juga cukup “menyenangkan”.

ada saat-saat untuk berlanjut. ada saat untuk berhenti. ada saat untuk berteduh sejenak dan sekedar minum. tetapi ada pula waktunya untuk meloncat setinggi mungkin untuk meraih sesuatu yang kelihatannya susah sekali.

terus terang, saya belum ada ide mau gimana. mungkin nanti malam saya mau ngopi dan rokokan dulu sama Tuhan. siapa tau Tuhan punya ide agar saya bisa senang, dan menyenangkan orang lain 🙂

moga-moga aja Tuhan masih asik. moga-moga Tuhan gak ikut-ikutan sok memboikot Playboy yang mau terbit di Indonesia itu. hehehe…

hint lagi : Tuhan Maha Memahami semua bahasa. jadi saya pikir, mau ngomong pake Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Sansekerta, atau ditambah pake siul sekalian, Tuhan tetep paham kok.

hehehe.

catatan kecil yang terserak

January 17, 2006

Selasa, Mei 6, 2K3. 12.03

Mama,
anakmu masih tersesat.
di ujung – ujung kesetiaan,
di pelukan hangat pengkhianatan.
di antara sepi penantian,
aku hilang di gemerlap kesenangan…

Mama,
anakmu masih mencari – cari jalan.
aku tak tahu mesti ke mana arah langkah,
seakan terbang terlalu tinggi tanpa beban,
kemudian tergelincir jatuh dihempas badai karang.

Mama,
anakmu di persimpangan pertamanya.
menoleh dan bertanya,
haruskah cerita berjalan seperti ini,
ada ketenangan dan keteduhan,
dari dalam tarikan napas kecilku yang bergolak…